Sejarah 0, Manusia lebih jahat dari virus

Agus Kurniawan
Plong
Kosong atau nol konon sudah dikonsepkan oleh berbagai bangsa, mulai dari Mesir sampai India. Disimbolkan ke dalam sistem numerik modern oleh ilmuwan Arab, al-Khwārizmī. Lalu dipakai di seluruh dunia.
Bangsa India Kuna menyebutnya "sunya". Orang Arab bilangnya "sifr". Orang Romawi "zephyrus". Orang Spanyol "sifra". Orang Italia "zephiro". Bangsa Perancis dan Inggris menamakannya "zero".
Dalam matematika garis bilangan, nol berada di antara angka negatif dan positif. Atau boleh dibilang, nol adalah paska negatif. Bagi kita, ini sudah menjadi hal sepele. Tapi secara historis, manusia membutuhkan ribuan tahun untuk merumuskannya.
Saya ingin memaknai konsep nol secara psikologis saja, karena ini lebih berguna -- paling tidak buat saya pribadi.
Pernahkan Anda mendengar orang bilang, "Nolkan dulu pikiranmu. Kosongkan jiwamu." Secara psikologis, nol bisa dimaknai sebagai low tension, low pressure. Atau kelapangan, kelegaan. Seperti pegas dalam posisi netral, tidak ditarik atau ditekan. Seperti ketika kita baru saja melunasi hutang kartu kredit atau KTA. Atau seperti beres BAB di toilet. Lega, plong.
Saya menyaksikan situasi "nol" paling luar biasa ketika anak sulung lahir. Setelah menunggui proses kelahiran yang sulit dan mendebarkan -- total 2 hari 2 malam -- tibalah momentum itu: kepala anak saya pelan-pelan menyapa dunia. Begitu tangis bayi melengking, istri saya mengucapkan alhamdulillah dengan kelapangan yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Plong.
Lawan dari kelegaan adalah beban atau tekanan. Para ahli perilaku sering mengingatkan bahwa kinerja manusia banyak terhambat oleh beban yang tidak perlu -- bahkan konon kita baru bisa menggunakan 10% dari total kapasitas otak kita akibat beban-beban itu. Seorang penyanyi bersuara surgawi tiba-tiba mati gaya di depan mikrofon karena grogi. Seorang mahasiswa jenius -- seperti kisah Chris Langan -- nilai akademiknya F semua karena pusing tak bisa makan, akibat beasiswanya dicabut. Tensi, beban.
Ketakutan dan kecemasan konon menjadi beban internal utama yang menghambat produktivitas dan kreativitas seseorang. Kebayangkan kalau Anda jadi Sisipus, dikutuk dewa untuk mendaki gunung tetapi harus sambil mendorong batu besar? Naik gunung saja sudah berat, apalagi ketambahan beban lain. Semuanya jadi lebih berat.
Harapan yang berlebih juga beban. Mustinya -- seperti matematika bilangan, setelah negatif dan sebelum positif kita melewati angka nol terlebih dulu. Tapi pikiran kita seringkali tidak begitu. Pikiran kita gak sabaran, penginnya melompat dari negatif langsung ke positif. Ini menambahi beban yang tidak perlu.
Misalnya, ketika kita merasa banyak berdosa, tiba-tiba kita ingin langsung menjadi orang yang banyak berbuat kebaikan. Ini melompat. Mustinya, kita mengurangi perbuatan buruk lebih dulu. Mengenolkan. Baru setelah itu melakukan yang positif. Atau ketika kita punya banyak hutang, tiba-tiba pikiran kita menghayalkan punya banyak tabungan. Itu juga melompat. Mustinya, kita lunasi dulu hutang, baru menabung. Bukan apa-apa, harapan yang berlebihan adalah beban yang tidak perlu.
Akhirnya, kita memang harus banyak berdoa agar jiwa kita dilapangkan, dinolkan: diangkat beban yang tidak perlu. Utamanya kecemasan dan ketakutan, apalagi pada masa pandemi ini.
https://mobile.facebook.com/goeska?



Agus Kurniawan
Pengobatan Jiwa
Seorang teman bilang, "Dalam konteks ekologis, kita ini lebih virus dibanding virus." Jika virus hanya merusak inangnya, manusia sering menghancurkan segala hal: biosfir, makhluk hidup, bahkan manusia lain. Manusia jauh lebih rakus, eksesif, dan ekspansif. Oleh karenanya, sesekali manusia perlu rehat dari rutinitasnya.
Tentu kita menolak pandemi. Sebagian besar manusia tak hepi dengan sikon ini. Persoalannya, pandemi sudah terjadi -- entah itu alami atau hasil konspirasi. Menurut ujaran tua, setiap musibah harus berhikmah. Kalau gak diambil hikmahnya, kita rugi dobel. Sudah susah, gak dapat pencerahan pula.
Dalam artikel di Wall Street Journal, Eric Weiner -- penulis buku-buku filsafat-- menyebut pandemi sebagai therapeutic medicine of the soul, terapi jiwa. Kita dipaksa untuk rehat dari rutinitas yang heboh: bekerja, berkumpul, bersenang-senang. Sebaliknya, kita disuruh menyepi dalam artian paling harfiah. Tidak boleh bekerja, tidak boleh berkumpul, apalagi bersenang-senang. Suasananya pun dibuat gloomy, suram.
Orientasi kita yang biasanya keluar (outward), dipaksa ke dalam (inward). Kalau biasanya kita baru hepi setelah menikmati hiruk-pikuk dunia luar, kini kita dipaksa menikmati kegembiraan hanya dalam keluarga serumah. Lebih jauh lagi, kita dipaksa untuk menyelam lebih jauh ke dalam jiwa kita sendiri. Banyak merenung, kontemplasi, refleksi.
Awalnya pandemi memaksa kita berpikir keras, bagaimana bertahan dalam situasi tak tertahankan? Bagaimana mencari kepastian dalam situasi tidak pasti? Jawabannya pun seperti kabut tipis di pegunungan. Antara ada dan tiada. Antara yakin dan tidak.
Tetapi situasi ini lambat laun membawa kita pada pencerahan berikutnya: first thing first. Kita dipaksa untuk kembali pada yang utama. Tuhan, keluarga, persahabatan, dan kasih sayang. Apalagi yang lebih utama dari itu? Jiwa kita dibersihkan dari anasir-anasir lain, dan dimurnikan pada hal-hal yang utama.
Tahap berikutnya adalah kreatifitas. Ternyata manusia sering melahirkan gagasan yang lebih baik --dan kelak abadi-- ketika berada pada situasi nestapa yang masif, termasuk pandemi. Para Nabi diturunkan saat suatu bangsa mengalami penindasan akut atau dekadensi. Socrates --misalnya-- pun lahir di awal kehancuran bangsanya, ancaman invasi militer, dan wabah pes.
Tapi kita kan bukan nabi yang bisa mengubah dunia. Mengutip Henry David Thoreau -- penyair ekologis Amrik, jika kita tak bisa mengubah dunia, kita bisa mengubah cara kita memaknai dunia, cara kita memaknai hidup.
Dan lebih penting lagi, kita jadi lebih ingat Tuhan -- asal dan tujuan kehidupan.

Agus Kurniawan
Konon Allah "menghadirkan diri" melalui makhluknya yang datang kepada kita meminta pertolongan. Cara kita merespon mereka itu mencerminkan cara kita merespon kehadiran-Nya.
Pagi ini rongki --kucing liar yang biasa minta makan ke rumah -- menggigit kaki sampai berdarah. Gara-garanya dia saya cuekin karena asyik baca WA. Gegara sakit menyengat, refleks saya lontarkan jurus tendangan tanpa bayangan. Refleks sih
Tiba-tiba kayak ada suara tanpa sumber mengaum di kepala, "Ooo begitu ya caramu memperlakukan hamba-hamba-Nya"


Buku dan Piknik
Dulu melancong atau piknik adalah kelaziman. Sudah biasa bepergian ke lain tempat, lokal atau bahkan manca negara. Tetapi pada masa pandemi, itu semua dibatasi. Piknik jadi (agak) mustahil. Kerinduan berpiknik pun meletup-letup sampai ubun-ubun.
Tetapi kita mungkin kurang menyadari -- dan pandemi membuat kita makin sadar -- bahwa melancong itu sesungguhnya lebih sebagai aktifitas mental ketimbang fisik. Melancong adalah engagement, keterlibatan psikis kita terhadap suatu lokasi atau peristiwa yang dianggap memberikan kesan khusus. Lokasi dan peristiwa fisik hanyalah panggung saja.
Apa yang membedakan nyeruput secangkir kopi specialty di beranda rumah dibanding di Cravan, kafe klasik di ruas jalan Rue Jean de la Fountaine, Paris Selatan? Kesan! Hanya kesan yang berbeda. Kopi dan seduhannya serupa.
Tetapi kesan juga bisa menjengkelkan. Sudah jauh-jauh terbang ke belahan dunia lain dengan biaya selangit, menyusun itinerary secara detail, ternyata malapetaka sederhana menimpa: salah pesan makanan. Keracunan, mabuk. Ujungnya ngendon di hotel, gak bisa ngapa-ngapain. Kita diam-diam menyesal: andai di rumah saja, nonton travel channel Discovery...
Sebagai aktivitas mental, kesan sangat mudah diakali. Salah satunya dengan buku, piranti murah meriah. Karl May, sastrawan paling ngetop --bukunya paling laris-- di Jerman, mengajari kita tentang itu.
Saat kemarin bongkar-bongkar buku lama, saya temukan lagi Winnetou, karya klasik Karl May -- sebagian teman pasti sudah hapal isinya. Buku ini berkisah tentang kekariban seorang pengelana Jerman, Old Shatterhand, dengan tetua suku Indian Apache Mescalero bernama Winnetoe. Suku Mascalero mendiami daerah berbukit-bukit, yang kita kenal sekarang sebagai New Mexico. Walaupun berasal dari ras yang bermusuhan, keduanya mengikat persaudaraan darah. Saking akrabnya, bahkan kuda mereka pun bersaudara, Iltschi dan Hatatitla
Karl May seorang penulis yang teliti. Penggambaran novelnya detil: lokasi, peristiwa, juga adat istiadat. Tapi banyak orang tak percaya bahwa saat menulis novel-novelnya itu Karl tak pernah sekalipun ke Amerika. Karl juga tak pernah ke tanah Arab saat menulis novel petualangan lain berlatar kekhalifahan Ottoman, Kara Ben Nemsi. Sampai novel-novelnya terbit, Karl tak pernah keluar dari negerinya, Jerman.
Yang lebih dramatis, Karl justru menulis Winnetou di dalam penjara. Lahir sebagai anak keluarga miskin -- 14 bersaudara, sampai usia 30 tahun dia memang hilir mudik masuk bui akibat mencuri. Pernah kursus untuk mendapatkan lisensi guru, tapi lagi-lagi dicabut karena ngutil.
Hidupnya mirip cerita para gangster kroco di Bronx, dari penjara ke penjara. Jika tak sedang dibui, dia mencari makan dengan menipu. Memerankan diri jadi pejabat, polisi, atau dokter. Mengandalkan kepiawaiannya berakting.
Lalu, bagaimana dia bisa tahu dengan persis pernak-pernik Suku Indian Apache dan negerinya nun jauh di belahan bumi lain? Membaca! Ini berkah dibui: karena berkelakuan santun, Karl diangkat menjadi penjaga perpustakaan. Berkah ini mungkin takkan dia nikmati jika jadi orang bebas.
Dia lahap buku-buku bertema petualangan dan kebudayaan, lalu digubahnya novel-novel terlaris sepanjang jaman -- laku 200 juta eksemplar!
Mengawali sebagai pecundang yang keluar masuk bui, Karl May pun menutup hidupnya ala kidung Sinatra -- My Way, menjadi laki-laki terhormat dengan sematan gelar Doctor HC dari sebuah Universitas ternama di Amerika.
Jadi, tak usah berkecil hati tak bisa piknik. Di masa pandemi kita tetap bisa melancong ke ujung terjauh dunia. Hanya perlu beberapa buku bacaan, plus mantra sakti Spongbob, "imagination...."

di karenakan salah satu di antara suami atau isteri jika mempunyai nasehat atau solusi itu , dia merasa yang paling benar. Jadi seakan akan nasehatnya paling benar dan harus di jalani oleh yang di nasehati tadi.(bisa juga di kategorikan orangnya sombong karena dialah yang merasa paling, paling benar, paling pintar)
Satu lagi kalau dia menyuruh harus dijalankan. Walaupun dia tau yang disuruh itu tidak mampu menjalaninya.


Posting Komentar untuk "Sejarah 0, Manusia lebih jahat dari virus"