Komando dalam organisasi

*EGALITER EFEKTIF*

Kang Rendy Business Notes,
18 September 2019

*Subscribe* >> http://bit.ly/gabungkrbn

**********

Besarnya populasi millenial di negeri ini mengubah kultur dan budaya organisasi di banyak perusahaan. Tidak sedikit perusahaan yang mengalami "kekagetan" akibat berhadapan dengan lapisan generasi muda yang cukup dominan.

Jika gelombang millenial berawal dari tahun 1980, maka generasi yang lahir setelah tahun 1980, rata-rata telah berusia matang di kisaran 30 sd 40 tahun.

Ada range usia ini, para millenial negeri sudah menduduki posisi "pemimpin tengah". Mereka mulai memimpin tim, mengarahkan, menduduki posisi yang cukup strategis. Bahkan di beberapa perusahaan yang sangat agresif, ada rentang usia ini, tidak sedikit para eksekutif muda yang sudah menduduki jabatan direksi.

Sisi baiknya, generasi ini memiliki sifat dinamis, lincah, berfikir sangat terbuka, sama seperti Anda yang rata-rata berlangganan grup WA Saya, Anda memiliki karakter demikian bukan?

Namun ada budaya millenial yang cukup menjadi hambatan dalam eksekusi misi organisasi. Budaya ini adalah EGALITER.

Egaliter dalam istilah kamus besar bahasa Indonesia adalah sama atau sederajat. Kaum millenial negeri adalah generasi yang lahir di alam demokrasi. Gaya feodalisme otoriter satu arah bukanlah budaya kaum ini. Maka egaliter menjadi budaya common yang tanpa disadari meresap di jiwa banyak anak muda.

Egaliter ini baik. Semua orang sederajat. Tanpa sekat hirarki yang tebal. Organisasi bisnis yang egaliter biasanya terbuka dalam melahirkan ide. Dinamis dalam bergerak. Namun disisi lain, memiliki dampak hambatan yang cukup serius : tidak jelasnya arus komando, yang menyebabkan lemahnya daya eksekusi.

*****

Pemimpin yang egaliter biasanya gemar mendengarkan, gemar berdiskusi, gemar menerima masukan. Budaya generasi muda, semuanya dibicarakan dan diobrolkan terbuka. Maka kita melihat trendline yang terkadang pas, makin muda makin asik terbuka dan makin tua makin keras komandonya. Walaupun ini tidak bisa digeneralisir.

Budaya egaliter ini terkadang malah membuat keputusan sulit dibuat. Akhirnya semua orang bicara, semua orang diposisikan sama, tidak ada filter. Sosok-sosok yang tidak kompeten pun ikut "berteriak" menyibukkan forum. Akhirnya forum hanya melaksanakan meeting meeting panjang tanpa keputusan.

Budaya egaliter juga tidak bisa ditelan mentah-mentah. Dalam organisasi tetap harus ada komando. Tetap harus ada ada pemimpin yang berhak mengarahkan, memerintahkan dan mengambil keputusan. Jika komando ini tidak jelas, maka anggota tim akan santai dalam merespon perintah. Tidak ada ketaatan pada struktur yang mengakibatkan mandulnya eksekusi di lapangan. Semua tim "ngeyel"

Budaya egaliter juga berkemungkinan besar menciptakan pemimpin-pemimpin bayangan. Karena semua merasa dekat, merasa sama, akhirnya muncul bos-bos baru. Bahasa anak sekarang "nge-bossy". Banyak bos dadakan, banyak bos-bos informal yang mulai suka memerintah sembarangan, akhirnya organisasi makin bingung. Anggota tim merasakan perintah yang berlapis-lapis, perintah yang saling bertentangan, perintah yang rancu. Karena bosnya tidak jelas.

*****

Dari pembahasan ini, maka alangkah baiknya organisasi melangkah untuk melakukan hal berikut :

1. Budaya egaliter dibangun terbatas. Tidak kebablasan.

Egaliter boleh, namun terbatas pada lingkup tertentu. Ketika penyamaan derajat dihantam rata ke seluruh anggota tim, maka lapisan struktur akan kacau. Budaya memimpin dan dipimpin akan kabur.

2. Tetap harus ada sosok yang dipilih untuk menjadi pemimpin yang berhak memutuskan.

Semua orang berhak memberi masukan, saran, dan kesemua itu di manajemeni dalam tabulasi yang tepat. Mana masukan-masukan yang mungkin bisa dieksekusi, mana masukan-masukan yang punya kemungkinan berhasil, semua dibahas oleh para ahli di organisasi.

Setelah riuh pembahasan, pemimpin harus memutuskan hasil diskusi. Harus ada yang menjadi kebijakan yang wajib dilaksanakan. Sehingga organisasi tidak bingung.

3. Tegas dalam meluruskan rantai komando organisasi.

Sosok-sosok yang merusak alur komando harus ditindak tegas. Direksi memutuskan A, lalu ada middle manajemen yang membelokkannya jadi B. Budaya potong komando tengah jalan ini harus diberantas.

Organisasi bisnis harus memiliki daya komando yang ditaati. Sehingga organisasi efektif bergerak sesuai kebijakan yang ada.

*****

Ketiga poin diatas Saya perkuat dalam pengajaran audio voice notes. Audio tersebut akan di upload malam ini pukul 21.00.

Bagi sahabat yang ingin menyimak paparan tentang topik EGALITER EFEKTIF, sahabat bisa segera bergabung ke grup WA khusus Audio.

Ketik "Join Grup Audio Kang Rendy" kirim ke WA 085220000122

****

_Silahkan copaste dan forward tulisan ini ke jejaring sahabat Anda. Semoga manfaat_

Posting Komentar untuk "Komando dalam organisasi"