Istri sumber inspirasi

Memang istriku selalu menjadi sumber inspirasi untuk menulis. Dia adalah energi yang tidak terlihat.

Dari awal menikah saya sebenarnya sudah tidak setuju tinggal dengan mertua. Karena menyebabkan hidup tidak mandiri. Boro-boro untuk mandiri. Untuk latihan mandiri saja tidak bisa. Dengan pisah dari orang tua. Namun tidak saya ungkapkan. Saya berusaha menahan. Dan mencoba dahulu untuk menjalani. Siapa tahu bisa cocok.

Yaa kondisinya begini. Situasi aman. Ada beberapa hasil didikan yang "kurang" baik yang menempel ke anak. Soal setan misalnya. Harapan saya rumah sebagai tempat yang aman sebagai perlindungan soal setan lokal. Namun apa boleh buat. Anak malah terinfiltrasi eyangnya soal cerita cerita mistis. Apa untungnya anak diajak ngobrol seperti itu. Hal ini masih menyisakan rasa kecewa.

Komunikasi eyang ke cucu juga terkadang terdengar ada gap. Anak minta pipis sambil bopong. Eyang langsung bilang minta sambil duduk. Harusnya di iyakan saja lalu dalam praktiknya diarahkan untuk duduk. Karena memang cara komunikasi seperti itu juga ada hubungannya dengan pendidikan masa lalu yang diajarkan kepada eyangnya dahulu. Sejarah melompat-lompat orang yang merawatnya juga sepertinya berpengaruh pada karakter komunikasi. Ada yang missing dalam jejaring alur komunikasi.

Soal bahasa. Saya sebagai orang tua merasa gagal menjadi orang Jawa. Gagal mengajarkan tata posisi sistem hormat kepada anak. Anak akan menjadi Egaliter dengan bahasa Indonesia. Namun dia mungkin akan kehilangan etika budaya versi Jawa.

Tanggung jawab istri sebagai istri juga berkurang. Saya sebagai suami tanggung jawab sebagai suami juga berkurang. Karena ada "yang membantu" mengurus anak.

Kembali lagi ke soal "kekecewaan" tinggal bersama mertua. Saya merasa anak di sini kesulitan bergaul. Karena memang orang tuanya terlalu protektif. Dan merasa yang baik hanya anaknya sendiri.

Aku membayangkan jika saja anak tinggal di grecccol. Pasti saya tetap bisa mengontrol. Bisa mendesain. Bisa tahu kapan nge-gas dan kapan nge-rem. Karena yang bergaul juga adalah anak anak yang setiap hari berinteraksi di sekolah.

Namun sepertinya hal itu masih jauh. Istri seperti batu. Hanya menjawab yaa nganah. Tidak memberi solusi. Padahal untuk anak seumuran dia masih terikat dengan ibu. Sudah saya jalani hampir 5 tahun di sini. Istri tidak pernah sedikitpun mencoba tinggal barang 1 tahun di grecccol.

Jika cucu jauh dari eyang bukannya ada sisi baiknya. Eyang jadi lebih sayang lebih kangen lebih peduli, dll kepada cucu nya. Hal seperti ini tidak di mengerti.

Menikah dengan seorang wanita berarti menikah dengan seluruh keluarganya. Itu yang saya alami. Bagaimanapun juga saya tetap menanggung  hubungan emosional dengan bapak mertua karena tinggal satu rumah. Memang bukan tanggungan keuangan. Hanya sekedar tanggungan menahan perasaan dan menahan pikiran. Bagi yang pernah tinggal bersama mertua pasti mengerti maksud saya ini.

Saya tidak pernah mendoakan istri saya masuk neraka atau sejenisnya. Cuma saya memang tidak suka ada sesuatu yang tidak adil. Bukan kah saya mencontoh nabi.
Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya’” (HR. Bukhari)
Begitu kata nabi.
Menyuruh suami tinggal ditempat yang bukan seharusnya adalah sebuah ketidakadilan. Saya ingin tinggal di dekat tempat bekerja tanpa anak juga adalah penderitaan juga. Rasa kangen yang menyelimuti tidak bisa ditahan. Menyandera anak di tempat mertua juga adalah ketidakadilan. Sudah anda 2 ketidakadilan. Punya 2 anak, tapi yang mengurusi mertua hanya anak bontot. Ini juga sebuah ketidakadilan.

Bagaimana  mungkin aku tidak sering marah. Merasa ada ketidakadilan banyak seperti itu. Setiap ingat pasti marah muncul. Setiap ingat kejadian pasti marah muncul. Terus menerus seperti itu. Giliran mertua suruh cari pasangan lagi, anak anaknya giliran yang tidak setuju. Tambah ketidakadilan lagi yang muncul. Memang berbuat adil dan fair itu sulit.











Posting Komentar untuk "Istri sumber inspirasi"