Ruang Gur* dan nepotisme negara

Agustinus Edy Kristianto
Lihat akun IG-nya Inul Daratista. Dia bilang mulai susah tidur karena mikirin gaji karyawan bulan Mei. Sama persis kita, mbak. Bagaimana pun Inul jempolan. Dari bukan siapa-siapa (bukan anak konglomerat, gak kecipratan duit BLBI 1998), berbisnis, menjelma pengusaha besar. Banyak menciptakan lapangan kerja. Berkontribusi terhadap pajak. Menggerakkan perbankan. Dari karaokenya, banyak yang bisa hidup, bahkan di luar karyawan sekalipun. Termasuk teman-teman saya para pemandu lagu (PL).
Tapi, pernah dengar berita Inul bicara pendanaan Seri A, Seri B, Seri C dsb macam Liga Italia? Pernah dengar Inul ngomong valuasi sekian triliun dan sebagainya dari investor asing? Pernah dengar Inul keluarkan rilis karya anak bangsa dan sejenisnya? Pernah dengar Inul ngomong unicorn, decacorn, scale-up dsb? Pernah dengar Inul ngomong politik dan didaulat jadi staf khusus presiden?
Tidak. Seperti Inul dan banyak pengusaha lain di Indonesia sederhana saja: operasional dan gaji karyawan berapa, pemasukan berapa, dipotong pajak dll berapa, cicilan bank berapa. Itu untung/rugi-nya. Begitulah bisnis yang riil.
Sekarang lihat anak-anak muda/milenial yang merangkap pejabat Istana. Bagaimana mereka diajari oleh senior/mentornya. Pertama kali menginjakkan kaki di Istana sudah dapat pelajaran ‘penting’: boleh jadi pejabat, tidak harus mundur dari jabatan swasta. Waktu kampanye pilpres diagung-agungkan dengan jargon revolusi 4.0, unicorn, anak muda panutan, pebisnis masa depan. Tapi, fakta saja. Pendiri/pengendali saham perusahaan aplikasinya jadi Mendikbud, mitra-mitranya sekarang berkerumun di depan rumah Nikita Mirzani berharap ada sumbangan uang. Sederhana berpikirnya: di medsos Nikita suka bagi-bagi uang. Pernah lihat yang begini sebelumnya? Sopir Kopaja, tukang becak, pengemudi angkot, sopir taksi yang sambangi artis untuk minta sumbangan?
Harusnya, justru saat situasi sulit seperti sekarang, dengan adanya fakta di atas, kita semua bisa berpikir jernih. Buat apa Anda oceh-oceh soal unicorn kalau ujungnya mental proyekan juga. Kemarin, Amartha bonceng Kementerian Desa. Hari ini Ruangguru bonceng program Kartu Pra Kerja. Akses yang diperoleh sebagai pejabat Istana adalah bagian dari model bisnis mereka. Sama saja dengan mendanai Goola-nya Gibran. Itu beli akses namanya, beli citra; bukan cuma urusan mengembangkan minuman tradisional. Kalau niatnya dorong industri minuman tradisional, kasih tuh buat mbok-mbok jamu yang jauh lebih pengalaman. Tapi, toh Gibran juga main politik. Itu diajari juga. Tidak perlu masuk pemerintahan tidak apa-apa, asal kebijakannya pro ke kita. Tapi masuk pemerintahan juga lebih bagus, supaya kuenya tidak ke mana-mana.
Ada mentor/investor di balik mereka semua yang ‘membimbing’ mereka jadi kapitalis. Mereka diajari beternak uang; memenangkan semua lini dari hulu ke hilir; menguasai pikiran, tindakan, dan mimpi masyarakat. Valuasi, valuasi, valuasi. Ayo simak. Modal Amartha di akta Rp299 miliar, penyaluran kredit Rp2,3 T. Modal Gojek (Aplikasi Karya Anak Bangsa) Rp600-an miliar, valuasinya sekarang Rp120-an triliun. Modal Gopay (Dompet Anak Bangsa) Rp8 triliun, valuasinya sekarang sekian ratus triliun. Kalau Softbank mau, Grab dan Gojek merger, valuasinya sampai Rp300-an triliun. Google, Tencent, Northstar, Softbank, Alibaba, semua yang dibangga-banggakan pemerintah itu bersatu, tak bisa dikalahkan. Kenapa saya tulis ini, supaya kita punya gambaran jelas berapa modal mereka. Modal yang tertulis di akta juga belum tentu modal mengendap, bisa jadi cuma numpang lewat biar keluar resi dan diproses oleh notaris.
Valuasi urusan persepsi, meskipun ada teorinya secara ekonomi, makanya berita-berita media sebagai pembentuk persepsi adalah bagian dari bisnis mereka. Perusahaan media massa juga dicaplok, minimal biar tidak menyerang dan relatif murah. Tapi, coba saja tes riilnya. Pailitkan saja. Terus nanti lihat harta pailit apa dari mereka yang bisa dijual oleh kurator untuk bayar utang. Bisa jadi kantor saja bukan gedung mereka, tapi sewa.
Bahasa terang saja: semua itu ilusi. Ilusi finansial. Permainan psikologis angka. Softbank rugi sekian ratus miliar US$, Gojek dapat pendanaan sekian miliar US$, start-up X dapat sekian puluh miliar, dsb; permainan kertas laporan keuangan, putar-putar uang. Naikkan profil, pertebal citra, pengaruhi kebijakan, pengaruhi opini publik. Jadikan kertas, sulap lagi jadi uang. Dan celakanya banyak yang mau saja bayar buat ikut seminar begitu.
Kalau dalam bisnis ojol, saya cenderung menyimak pergerakan Astra International (ASII). Simpel saja alasannya. Grup ini memproduksi otomotif, menyediakan suku cadang, menyalurkan jasa leasing, dan juga menyediakan aplikasi. Karena ada aplikasi, datanglah pembeli kendaraan (mitra-mitra) yang membeli lewat leasing. Aplikasi dapat sumber daya manusia tanpa harus merekrut karyawan dan memenuhi haknya sesuai UU Ketenagakerjaan, produsen dapat penjualan kendaraan, leasing dapat bunga, asuransi dapat premi. Motor/mobil tidak bisa melayang di udara, butuh jalan. Jalan urusan pemerintah.
Saya kutip dari Laporan tahunan ASII 2019: Astra berinvestasi Rp9,3 triliun melalui PT Asuransi Astra Buana terkait dengan bidang usaha asuransi kerugian; Rp3,5 triliun di PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (Gojek). Pemegang saham Gojek ada Google, Tencent dkk. Tapi Gopay, PT-nya tersendiri, pemegang sahamnya PT Aplikasi Karya Anak Bangsa dan Nadiem Makarim (Mendikbud).
Sekarang situasi sulit, mana kertas-kertas triliunan itu? Faktanya Rp405,1 triliun duit APBN tambahan. Tambahan dari terbitkan surat utang bunga 4,5% tenor 50 tahun. Mitra yang kesulitan ekonomi, ditalangi kartu prakerja. Pelatihan kartu prakerja oleh perusahaan Zalora Connection/Gojek Connection. Dananya juga dari APBN. Kalau perlu dapat BLT, juga uang negara. Uang bensin, dapat cashback 50% dari BUMN Pertamina.
Pada akhirnya, ada Rp110 triliun dana pemulihan ekonomi akibat korona, juga gurih buat diolah kayak BLBI buat konglomerat.
Mitra mereka yang kesusahan, biar Nikita Mirzani yang urus. Maaf, nyai.

Posting Komentar untuk "Ruang Gur* dan nepotisme negara"