Musik haram ??

Keharaman Bermain Musik Bukanlah Ijmak – CRCS UGM

Keharaman Bermain Musik Bukanlah Ijmak
Achmad Jauhari Umar – 29 April 2020

Banyak musisi kenamaan telah “hijrah”, tetapi tidak semua mengambil sikap keagamaan yang sama. Sebagian masih mau bermain musik, tetapi sebagian lain mengharamkan musik sama sekali. Satu faktor utama yang memengaruhi sikap ini ialah ustaz yang menjadi pembimbing hijrahnya. Di antara ustaz populer di Indonesia yang melarang bermain alat musik, entah eksplisit atau implisit, ialah Khalid Basalamah, Syafiq Basalamah, Firanda Andirja, Yazid Jawas, dan beberapa ustaz lain.

Mereka yang mengharamkan musik biasanya merujuk pada dalil dari QS Luqman [31]:6 yang terjemahannya berbunyi: “Dan di antara manusia (ada) orang yang membeli perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka akan memperoleh azab yang menghinakan.” Oleh yang mengharamkan musik, frasa “perkataan yang tidak berguna” (dalam lafal Arabnya: “lahwal-hadits”) kerap ditafsirkan mencakup bermain alat musik, dengan referensi para penafsir generasi Sahabat yang memahaminya demikian.

Dalil lain yang kerap dinukil untuk mengharamkan musik ialah hadis riwayat Al-Bukhari yang terjemahannya berbunyi, “Sungguh akan ada sebagian dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, minuman keras, dan alat-alat musik.” Penyejajaran alat-alat musik dengan zina dan minuman keras ini memunculkan pandangan dari kalangan ahli fikih, termasuk tak sedikit dari ahli fikih mazhab empat, bahwa jika seseorang merusak alat musik, maka ia tidak harus menggantinya; atau jika seseorang mencuri alat musik, dia tidak dipotong tangannya; karena alat musik, seperti minuman keras, adalah alat untuk berdosa.

Kendati demikian, apakah keharaman bermain alat musik ini merupakan pandangan yang menjadi kesepakatan umum (ijmak) dalam hukum Islam? Berikut ini saya hendak memaparkan bahwa ada banyak ulama yang membolehkan bermain alat musik, dengan dalil yang absah dalam kerangka perumusan (istinbath) hukum Islam.

Namun sebelum masuk lebih jauh, satu hal yang perlu dicatat di sini ialah bahwa musik dalam dirinya sendiri tidak bisa dinyatakan haram. Per definisi, musik ialah suara yang berirama. Dengan definisi ini, melagukan bacaan al-Quran atau mendendangkan salawat kepada Nabi ialah suatu bentuk musik, karena ia berirama. Maka dari itu, yang semestinya jadi pokok bahasan bukanlah musik, melainkan memainkan alat musik. Di tulisan ini, ketika disebut ‘mengharamkan/membolehkan musik’, maknanya secara spesifik mengacu pada ‘mengharamkan/membolehkan bermain alat musik’.

Nah, apa dalilnya dan ulama mana saja yang membolehkan musik? Dalil utama yang kerap diajukan oleh ulama yang menyatakan boleh memainkan alat musik ialah bahwa memainkan alat musik tidaklah haram di dalam dirinya sendiri. Yang membuatnya haram adalah tujuan dari bermain musik itu.

Bila mengikuti redaksi ayat terkutip di atas (QS 31:6), dan kita asumsikan bahwa ‘perkataan tidak berguna’ mencakup makna ‘bermain alat musik’, ia haram ketika ‘menyesatkan manusia dari jalan Allah’. Bila bermain alat musik justru membuat seseorang ingat pada Tuhannya, maka hukumnya akan makin jauh dari haram. Di samping itu, redaksi ayat tersebut merupakan kalimat berita, bukan kalimat perintah, yang dengan demikian membuka potensi lebih besar bagi keabsahan penafsiran seperti ini.

Bila hendak diringkas dalam satu kalimat padat: bermain musik haram bagi seorang Muslim jika melalaikan seorang dari kewajiban terhadap Tuhannya. Bila seorang Muslim bermain musik sampai lupa salat wajib, misalnya, maka bermain musik yang demikian ini jadi haram.

Siapa saja ulama yang berpandangan demikian? Dari kalangan ulama klasik kita bisa menyebut antara lain Al-Ghazali, Izzuddin ibn Abd as-Salam, Ibn Hazm al-Andalusi, dan Ibn al-Muflih. Dari kalangan ulama kontemporer, kita bisa menukil pandangan dari sejumlah ulama kontemporer atau lembaga fatwa dari negara yang memiliki lembaga studi keislaman terkemuka.

Lembaga fatwa Mesir, Darul Ifta, misalnya, pernah mengeluarkan fatwa berkaitan dengan hukum musik dan nyanyian. Dalam fatwa nomor 460 tahun 2005, Darul Ifta menyatakan, “Mendengarkan nyanyian dan musik dapat dihukumi haram, juga dapat dihukumi mubah. Nyanyian jika isinya baik maka ia baik, dan sebaliknya.  Musik dan nyanyian adalah mubah selama isinya bermuatan positif, seperti tentang agama, negara, atau mengekspresikan kebahagiaan ketika hari raya.” (Simak pandangan ulama al-Azhar tentang ini di sini.)

Ulama kenamaan lain seperti Habib Ali al-Jifri mengatakan bahwa tidak ada kesepakatan di dalam mazhab empat tentang pengharaman musik. Perbedaan (khilaf) ulama di dalam menghukumi alat musik adalah khilaf mu’tabar (perbedaan yang absah), bahkan di kalangan Sahabat Nabi sendiri. Sebagai contoh, sahabat Abdullah ibn Ja’far ibn Abi Thalib mengiringi majlisnya di Mekah dengan memainkan alat musik. Riwayat ini masyhur di kalangan Sahabat  yang tinggal di Hijaz. Lebih lanjut Habib Ali menyampaikan bahwa lebih dari 30 ulama besar Ahlussunnah wal-Jamaah dalam mazhab empat berpendapat bahwa hukum alat musik tidak bergantung pada alat itu sendiri, tetapi pada pada efek yang ditimbulkanya pada orang yang mendengarkannya. (Simak pemaparan Habib Ali tentang ini di sini.)

Syaikh Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya Fiqhul Ghina’ wal Musiqo fi Dhau’ al-Qur’an wa as-Sunnah (Fikih Nyanyian dan Musik dalam Terang al-Quran dan Sunnah) membantah dalil-dalil yang dijadikan sebagai landasan pengharaman musik. Mengenai dalil dari al-Quran misalnya, ia mengatakan bahwa penafsiran “lahwal-hadits” yang merujuk pada musik dan nyanyian adalah tafsir Sahabat, dan tafsir Sahabat bukanlah referensi mutlak satu-satunya dalam pengambilan hukum. Menurut al-Qaradhawi, tafsir Sahabat adalah pemahaman Sahabat terhadap ayat-ayat tertentu dan tidaklah sama kedudukannya dengan nash (landasan tekstual dari al-Quran atau hadis). Oleh karena itu, sering terjadi tafsir Sahabat terhadap suatu ayat berbeda dari Sahabat lainnya.

Ulama kontemporer Tunisia juga berfatwa senada. Kompilasi fatwa ulama Tunisia abad ke-14 H, yang disusun oleh Dr. Muhammad ibn Yunus Attuzeri, menyebutkan bahwa dalil keharaman musik tidaklah bergantung pada alatnya, tetapi pada tujuan bermusiknya dan isi nyanyiannya. Bermain musik akan menjadi terlarang jika mengantarkan pada hal-hal yang dilarang agama.

Cara pandang bahwa “hukum musik tergandung pada tujuannya” juga kita dapati di antara ulama Indonesia. Kita bisa menukil Quraish Shihab, misalnya, yang menyatakan, “Alat musik tidak terlarang, dan yang terlarang ialah kalau mengantar pada penyimpangan.” Lebih lanjut, Quraish Shihab juga menyampaikan bahwa konteks ketika ayat yang kerap dinukil untuk mengharamkan musik itu ialah bahwa, di masa Nabi, banyak orang terpesona dengan keindahan al-Quran. Maka untuk menandinginya, para rival Nabi menggunakan nyanyian. Inilah konteks di balik redaksi ayat itu yang berbunyi “di antara manusia ada yang membeli perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah”. Bagi Quraish Shihab, kata “lahw” (yang diterjemahkan dengan ‘tidak berguna’) bermakna “melakukan satu kegiatan yang tidak penting sehingga mengakibatkan yang penting terabaikan”. (Simak paparan Quraish Shihab tentang ini di sini.)

Demikian pemaparan mengenai ulama yang membolehkan musik. Esai pendek ini tidak hendak menunjukkan mana dari pendapat-pendapat itu yang paling mewakili Islam. Pada akhirnya, pilihan terhadap pendapat-pendapat itu jatuh pada pribadi masing-masing Muslim. Yang ingin ditunjukkan tulisan ini ialah bahwa keharaman bermain alat musik bukanlah hukum yang tegas dan terang benderang sehingga memunculkan beragam pendapat, dan karena itu hukumnya bukan merupakan ijmak ulama.

____________
Achmad Jauhari Umar adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2019. Ia menyelesaikan S1 di jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Universitas Az-Zaitunah, Tunisia.

Posting Komentar untuk "Musik haram ??"