ngaji roso

DIALOG
(harus saya tulis untuk pelajaran kita semua agar bijaksana)

Harap baca baik-baik sampai habis ...

Beberapa waktu yang lalu, saya berdialog di forumnya Ngaji Roso dengan Mbah Gatot dan Setyo Hajar. Saya merasa asik-asik saja karena alur yang mengalir tanpa harus menyamakan persepsi. 

Ide Ngaji Roso ini sebenarnya keren karena menyajikan dialog beda persepsi tanpa harus disamakan yang akan mentriger pendengar untuk lebih cerdas dan kritis atau sebuah jalan pikiran. 

Jadi dalam dialog ini tidak ada benar dan salah, tidak ada kalah dan menang dan tidak ada saling meyakinkan yang bertujuan untuk menarik orang lain menjadi sama dengan pemikiran salah satunya. 

Saya katakan, ide Ngaji Roso ini sebenarnya keren! Ya, karena tujuannya bukan untuk membuktikan apapun. Tidak untuk mengalahkan siapapun. Tujuannya adalah mengajak pemirsa untuk menjadi lebih cerdas sehingga mau berpikir ke depan terhadap pikiran yang mungkin 'stuk' saat ini.  

Saya teringat dengan channel Humor Sufi, dimana Candra Malik bisa guyon dengan (alm) Prie Gs, bahkan bisa saling 'ngenyek' dengan latar filosofis yang cerdas dan sangat keren!. Atau guyonannya Sujiwo Tedjo dengan Cak Nun yang saling 'nyek-nyekan' dengan cerdas. 

Saya kira, acara itu bisa menjadi acara seperti di atas, di mana para pelakunya tidak 'mutungan', tidak 'ngambekan, tidak merasa ingin mengalahkan orang lain, tidak merasa paling pintar dan paling hebat di antara lainnya. Atau juga tidak berniat membuktikan bahwa gagasannya yang paling benar. 

Namun ternyata dialog cerdas seperti itu hanya dapat dilakukan dengan penuh kedewasaan, pikiran terbuka dan hati yang benar-benar memeluk Bhinneka Tunggal Ika, sehingga Bhinneka Tunggal Ika tidak hanya menjadi slogan saja, tapi benar-benar diterapkan dalam kehidupan, yaitu bagaimana kita hidup berdampingan dengan orang yang berbeda pandangan. 

Namun, membaca komen yang saya capture di YT ini saya menjadi sedih dan kecewa. Mengapa saya dianggap 'rival' di medan perang yang dianggap harus dikalahkan. Bahkan apakah harus ada anggapan hebat salah satunya? 

Apakah dalam dialog itu harus ada yang menang dan kalah? Atau mengapa kita bercerita bahwa 'dia aku kalahkan!' 

Mengapa kita tidak mendidik sahabat-sahabat kita agar tidak melihat sebuah dialog sebagai ajang perang pendapat dan harus ada yang kalah salah satunya? Mengapa kita tidak mendidik sahabat-sahabat kita untuk menerapkan Bhinneka Tunggal Ika yang nyata, yang mungkin setiap saat selalu diucapkan? 

Atau mungkin saja saya yang salah memahami capture komen di atas? Bisa jadi. 

Yang jelas, untuk mencerdaskan kita harus cerdas. Untuk mendewasakan kita harus dewasa. Untuk mendidik, kita harus terdidik. Dan semua itu hanya bisa kita lakukan apabila kita bijaksana. Bijaksana dengan tidak melihat orang lain yang harus dikalahkan. Bijaksana dengan tidak melihat orang lain salah dan harus disadarkan. Bijaksana dengan tidak menilai orang lain dalam posisi kesadaran rendah bersama para demon dan dark energi. 

Siapa kita, sehingga kita berhak menilai orang lain lebih rendah dari kita? 

Ternyata sulit untuk menegakkan dan mensosialisasikan literasi di masyarakat. Berpikir cerdas dan bersikap bijaksana menjadi 'barang langka' di masyarakat kita. 

Apalagi ketika kita pulang dari dialog dengan orang yang berbeda keyakinan, di situlah kita diuji. Kita diuji, apakah kita merasa mengalahkan dan berusaha mengalahkan? Apakah kita merasa menang satu sama lain? Atau jangan-jangan kita malah bercerita bahwa kita baru saja pulang dari medan perang dan mengalahkan lawan dengan telak! 

Kalau begini, kapan kita mau maju? Yang lebih menarik adalah, mengapa ada saja orang yang tidak ingin maju?

Semoga kita semua selalu belajar dan terus menjadi bijaksana dalam perjalanan hidup kita ke depan.

"Jonggring Saloko"

Agung webe

Posting Komentar untuk "ngaji roso"