Bersikap Soal Kematian
Saya jadi sering mengingat kematian sejak saya berusia 40 tahun. Di usia itu saya menyadari betapa waktu sangat cepat berlalu. Rasanya baru saja saya menjalani masa kecil. Masih sangat segar berbagai kenangan atas peristiwa masa kecil, tahu-tahu saya sudah 40 tahun. Saya sadar, 40 tahun berikutnya yang akan saya lalui juga akan berlangsung cepat. Artinya, sebentar lagi saya akan mati.
Sejak usia 40 tahun pula saya menemukan kesadaran baru soal hidup. Saya meyakini bahwa hidup hanyalah proses biologis yang menghasilkan kesadaran. Kematian adalah berakhirnya proses biologis itu. Bersamaan dengan itu hilang pula kesadaran.
Hidup sebagai proses metabolisme untuk menghasilkan energi. Energi yang menggerakkan sel-sel untuk melakukan aktivitasnya. Sel-sel membentuk jaringan, lalu organ. Yang tampak dan kita rasakan, organ-organ kita bergerak.
Tanpa kita sadari, kita sebenarnya "mati" setiap saat. Ada 100 milyar sel tubuh kita mati setiap hari. Sel-sel itu digantikan oleh sel-sel baru. Tapi ada bagian-bagian yang selnya tidak diganti oleh sel-sel baru.Ada pula sel-sel yang rusak karena faktor-faktor internal maupun eksternal tubuh. Fungsi-fungsi jaringan menurun, tidak lagi seperti semula. Organ-organ juga menurun. Kematian adalah saat organ-organ kita berhenti bekerja sebagai sebuah sistem yang terintegrasi.
Jantung berhenti memompa darah. Otak tak lagi mendapat pasokan oksigen. Sel-sel otak mati. Otak tak lagi menghasilkan kesadaran. Sel-sel kita tak lagi berinteraksi satu sama lain, tak mendapat pasokan kebutuhan. Lalu masing-masing mati.
Perhatikan, setelah kita resmi "mati", sebagian organ kita masih hidup. Artinya sel-selnya masih berfungsi secara terintegrasi, di skala organ. Karena itu berbagai organ itu masih bisa dipakai untuk bagian tubuh orang lain melalui transplantasi.
Kunci terpenting soal kematian adalah berhentinya proses yang menghasilkan kesadaran. Saya memahami itu sebagai sebuah proses biologis saja.
Dengan cara pandang itu, saya tidak punya kekhawatiran soal kematian. Saya menyadari bahwa sel-sel tubuh saya mati setiap hari. Kita bisa menganggapnya "kematian kecil". "Kematian besar" hanyalah akumulasi kematian-kematian kecil itu. Kematian hanyalah konsekuensi dari adanya kehidupan.
Lalu kenapa orang takut mati? Ada 2 sebab. Pertama, cinta dunia, kedua takut akhirat.
Proses metabolisme tubuh dan kerja-kerja sel yang menghasilkan kesadaran tadi membangun berbagai kenikmatan dalam otak. Berbagai hormon membuat tubuh merasa nyaman, dan otak manusia menjadi ketagihan. Ketagihan terbesar manusia adalah ketagihan pada kehidupan itu sendiri. Pemicu materialnya bisa bermacam-macam. Ada yang ketagihan pada materi (harta dan uang), pada orang lain (seks, cinta, hubungan sosial), juga pada pengalaman-pengalaman (perjalanan, keindahan alam), dan sebagainya. Kesadaran pada banyak orang menginginkan agar hal-hal itu abadi.
Di sisi lain, homo sapiens punya imajinasi khas. Mereka membayangkan ada kehidupan lain setelah kematian. Banyak yang percaya bahwa mereka harus melakukan ritual tertentu, hidup dengan cara tertentu, senggama dengan cara tertentu, agar selamat dalam kehidupan setelah mati. Tapi begitulah homo sapiens. Mereka percaya harus begini dan begitu, tapi hidup sering kali terlalu nikmat, sehingga harus begini dan begitu tadi tinggal kepercayaan. Mereka tidak hidup dengan cara itu, melainkan menuruti panduan hormon-hormon dalam tubuh mereka.
Kalau pun mereka mati-matian mengikuti apa yang mereka percayai, mereka tak pernah yakin bahwa mereka sudah memenuhi syarat untuk mendapat kehidupan yang baik setelah kematian. Maka mereka takut mati.
Saya adalah jenis homo sapiens yang sudah menghilangkan imajinasi itu dari pikiran saya. Maka kematian bagi saya biasa saja. Saya juga tidak kecanduan pada hidup. Segala bentuk keterikatan pada kehidupan saya pahami sebagai kerja-kerja hormon saja. Saya hanya menikmatinya selagi bisa, dan tidak keberatan kalau suatu saat itu semua akan berhenti.
Pada dasarnya kita semua mengalami kematian-kematian kecil setiap hari. Rambut kita rontok. Gigi kita copot. Mata kita menurun kemampuannya. Perlahan lebih serius lagi, pembuluh darah kita menyempit. Peler kita tak lagi bisa keras. Hal-hal yang dulu bisa kita nikmati, kini tiada lagi.
Saya tenang saja menerima kenyataan tidak bisa lagi membaca tanpa kaca mata di usia 40 tahun. Maka saya tak berat menerima kenyataan suatu hari nanti jantung saya akan berhenti memompa darah.
Takut pada kematian adalah pengingkaran terhadap proses kehidupan.
Posting Komentar untuk "Bersikap Soal Kematian"
Posting Komentar